Jumat, 16 Juli 2010

Ie Rheut, Detak Alam yang Terabaikan

Oleh : Hendra Kasmi
(Juara Favorit Lomba Menulis Gampong Impact Mercy-Corps)

Jalanan berpayung rerimbunan itu seperti terowongan bawah tanah yang sempit, bedanya tempat ini tidak datar tapi menukik perlahan. Jangan harap akan berjumpa selalu dengan aspal mulus. Sesekali akan terbentur dengan kerikil yang berserak akibat longsor bebukitan kapur. Kian mendekati pancuran jalan agak menukik tajam. Melelahkan memang!

Tatkala sore menjelang, barulah alunan gemuruh itu sayup-sayup terdengar. Hawa dingin merasuki tulang sum-sum. Semua kawanku yang berjalan kaki menggigil kedinginan walau mereka sudah terlindung jaket tebal. Suhu di daerah bekas gardu raksasa kolonial ini bisa turun 3 derajat celcius! Maklum Tangse kan daerah pegunungan! Ya, apalagi kalau musim hujan pasti akan bertambah dingin! Apalagi di sekitar kawasan air terjun Ie Rheut! Begitulah keluh beberapa pejalan kaki seraya menyinggung kawasan menarik yang akan kami tuju.

Adalah desa Alue Lhok yang kira-kira terletak di kilometer 25 kota Tangse. Desa dengan kultur budaya yang begitu kental, penduduk dengan pendidikan paling tinggi hanya mampu mengantongi ijazah SMA lalu mengadu separuh hidupnya di ladang dan kebun, apalagi akses teknologi dan komunikasi yang tak terjangkau. Namun, desa yang hanya berpenduduk 25 KK menyimpan keelokan alam yang megah yakni Ie Rheut (air jatuh), orang setempat menjadikannya sebagai tempat rekreasi air terjun yang sangat dibanggakan.

Hampir di puncak mata air yang mengairi Krueng Tangse, tampak ukiran dinding bebatuan berlumur aliran bening. Dari atas bebatuan yang beratapkan rerimbunan pinus dan ilalang, berhambur deras bening kristal dari mata air alami. Orang setempat menitahkan pancuran unik di lubuk Tangse ini dengan sebutan Ie Rheut. Pancuran mini ini tak kalah indahnya dengan objek wisata pegunungan di Aceh seperti Mata Ie, Pancuran Lhong, kawasan air panas Takengon dan lain-lain. Mungkin hanya saja posisi geografis tempat jauh dipedalaman sehingga agak terkucil dari ranah publik.

Menurut pengamat pariwisata Aceh, Ie Rheut tidak layak di sebut air tejun sebagai objek wisata karena ukurannya terlalu kecil dan letaknya jauh terkucil di pinggir belantara. Hal tersebut di sanggah para pemuka kampung Alue Lhok—yang tidak bersedia di sebut namanya. Menurut beliau, Ie Rheut terkucil karena tak ada kepedulian dari Pemda setempat. Solusinya Pemda mesti membangun fasilitas yang memagari kawasan air pancuran itu agar selain bisa menarik wisatawan, juga agar limpahan air jatuh tidak menganggu jalan yang dibangun sejak zaman kolonial itu. Miris memang, ketika tempat menarik seperti itu juga memiliki sisi negatif, contohnya terlihat beberapa mobil kewalahan dan waspada saat menggilas jalan licin. Dampak lainnya juga curam yang tajam di depan jalan sekitar pancuran sehingga dapat mengancam keselamatan pengunjung ”Pemerintah seharusnya memagari curam yang berbahaya itu”Tambah bapak yang tak bersedia di sebut namanya tadi.

Namun uniknya, objek ini tetap menarik perhatian pendatang karena terletak di pinggir Jalan Provinsi Geumpang-Tutut. Apalagi desa Alue Lhok merupakan kawasan sentral transportasi lintas barat timur. Sehingga tempat ini sangat cocok bagi angkutan untuk tack a rest. Banyak penumpang yang turun sekedar mencuci muka, shalat, ngemil, bahkan ada penumpang berpose di batu yang berlatar pancuran Ie Rheut. Lalu lintas yang ramai sejak tsunami yang menerjang Aceh itu bisa menambah pendapatan penduduk setempat. Jamboe-jamboe mini berjejal. Aneka makanan dan minuman khas setempat terhidang rapi di meja seperti jagung bakar, durian pungut, timphan, air tebu dan lain-lain.
Pancuran sunyi yang mendadak megah itu, juga beranjak sebuah heroisme dari tutur tetua setempat. Tersebutlah Tu Lah, eks veteran Heiho. kulit legam yang membungkus tulang-belulang renta tak mematahkan semangatnya untuk bertarung hidup dalam lautan meugoe. Di rangkang papan ladangnya beliau melayani kami dengan ramah. Lekuk keriput wajahnya masam ketika dengan terbata-bata beliau menguak kembali lembaran pahit pada kami.

Konon, sepanjang perjalanan sejarah perjuangan kemerdekaan yang mendera Tanoh Rencong. Alue Lhok menjadi pos induk gerilya. Tak perlu heran jika figur perlawanan nasional sekaliber Cut Nyak Dhien dan T.Chik di Tiro pernah bergulat dalam kritis medan di jantung belantara Tuhan ini. Apalagi Alue Lhok (di masa penjajahan masih berupa hutan lebat dan belum ada penduduk) merupakan kawasan puncak yang sulit di jangkau serdardu kolonial. Di empat titik arah mata angin terpacak menara pengintai yang terselubung dalam rerimbunan jati dan pinus untuk memantau pergerakan Belanda dari Tangsi. Dengan begitu pejuang bisa dengan aman menyusun tak-tik perang di kawasan pos induk kaphee Belanda terbesar di Aceh ini.

”Kakeueh keupue ta ingat! Geutanyoe meubut bukoen ntuk dipujoe (Sudahlah untuk apa dikenang! Bukankah kita berbuat bukan untuk dipuji) begitulah desah pasrah Tu Lah ketika kami meminta beliau dan penduduk desa mengajukan usul ke Pemda agar Ie Rheut dijadikan momen sejarah.

Begitulah kesederhanaan juga tertanam dalam wajah-wajah yang menatap lugu guyuran air gunung dan lalu lalang kendaraan yang tampak dari tempat kami berada. Mungkin di pundak anak negeri itulah, masih tesisa secuil kepedulian kelak pada alam mereka, yang suatu saat dapat mereka gali kemegahan yang terpendam di jantung belantara. Akankah harapan itu terwujud ketika detak alam kawasan itu kian memprihatinkan?

Senin, 14 Juni 2010

Bunga Berdarah, Mencari Hakikat Cinta dalam Kemelut


Resensi Buku

Bunga Berdarah, Mencari Hakikat Cinta

dalam Kemelut Konflik

Oleh : Hendra Kasmi

(Di muat di Harian Aceh)

Judul : Percikan Darah di Bunga

Pengarang : Arafat Nur

Penyunting : Sakti Wibowo

Desain Kovel : Dedi Fadillah

Penerbit : Lini Zikrul Remaja

Tebal Buku : 176 hlm ; 11,5x17,5 cm

Cetakan : Juni 2005

Sejak konflik melanda Tanah Rencong, cukup banyak kasus kekerasan yang terjadi, mulai dari penyiksaan fisik, perkosaan, penjarahan hingga pembunuhan. Batin siapa yang tak menjerit saat melihat martabat manusia dilecehkan begitu saja tanpa perasaan cinta. Tapi di mana-mana drama konflik memang sudah diskenariokan begitu, tak seru jika pelakon konfontrasi saja yang bermain, orang-orang sipil termasuk perempuan tak berdaya yang jelas-jelas tak ada sangkut paut dengan masalah pun harus ikut dilibatkan, walau hanya sekedar pemuas ambisi semu.

Hal itulah yang membuat Dhira tergerak untuk bergabung dengan sebuah organisasi yang memperjuangan nasib orang-orang tertindas. Namun, kehadiran tokoh Teungku Don yang membuat Dhira memendam hasrat cinta adalah warna lain yang mewakili sisi kepribadian dalam cerita ini.

Perasaan senasib telah membuat Teungku Don lebih banyak berinteraksi dengan Meulu—korban pelecehan seksual oleh orang-orang bersenjata. Gadis ini lebih beruntung dibandingkan Dhira karena memiliki alasan untuk berhubungan dengan sang Teungku. Sehingga melahirkan konflik pribadi berupa ungkapan-ungkapan jengkel dan cemburu yang membuncah terpendam dalam lubuk hati Dhira.

Sisi lain yang dipaparkan adalah tentang kehidupan sosial yang melahirkan perbedaan karakter yang begitu tajam. Walaupun mereka berjuang dengan misi yang sama, tapi sulit menyerasikan watak kepribadian mereka karena sudah terlanjur dibesarkan dalam lingkungan yang berbeda, sehingga mereka sama-sama sulit memahami perasaan lawannya. Teungku Don dan Meulu adalah orang yang dibesarkan dalam kesederhanan lingkungan kampung dan dayah yang membuat mereka selalu berpegang teguh pada norma. Sehingga pembawaan mereka cenderung apa adanya. Sedangkan Dhira, gadis peranakan Aceh dengan jawa, dibesarkan dalam keluarga ekonomis yang cenderung tak ingin ikut campur dalam permasalahan yang melanda Aceh. Meski watak Dhira berbeda dari anggota keluarganya, lemah lembut dan perduli kepada sesama tapi tak bisa membuat dia bertahan dari arus modernisasi yang menyeretnya.

Sampai keadaan tragis datang memberikan kesempatan yang luas bagi Teungku Don dan Dhira untuk berkomunikasi. Maka di sinilah puncak cerita yang paling seru ketika benturan kultural terjadi. Dhira ingin melepaskan batasan norma yang mengikat mereka. Ia juga menginginkan sikap Teungku Don yang monoton berubah menjadi lelaki romantis yang bisa mengucapkan cinta lalu mereka akan bermesraan seperti pasangan lainnya.

Tapi garis etika yang membentuk kepribadian Teungku Don bertahun-tahun membuatnya tak menginginkan hal semacam itu. Ia tak mengenal getaran cinta. Yang membuat kita di bawa pada keharuan yang sangat adalah saat keadaan memaksa mereka kembali berpisah, Dhira yang menderita tak sempat menumpahkan semua isi hatinya yang lama terpendam.

Itulah sedikit gambaran cerita dalam novel “Percikan Darah di Bunga” karangan Arafat Nur. Seperti kebanyakan novel aceh lainnya yang mengisahkan liku-liku cinta dengan latar kelabu, bencana, desiran peluru, darah dan airmata. Tapi Arafat menyuguhkannya dengan nuansa yang berbeda dari novel lainnya. Ia begitu cerdas memadukan unsur cinta, religi, dan kemanusiaan di tengah konflik yang mendera secara menarik dan terarah. Ia menggambarkan tentang cinta yang terpendam dalam gemuruh pergolakan hingga harga diri manusia yang di cabik-cabik. Pada awalnya emosi pembaca akan terenyuh, tapi gelora itu akan kembali luluh bergantikan kedamaian saat pembaca di bawa kembali pada renungan spiritual yang menggugah jiwa.

Di lihat dari beberapa segi cerita ini sudah cukup menarik. Ide cerita yang tidak terlalu mencolok dan terkesan apa adanya, juga bahasa yang ditulis tidak berbelit-belit sehingga pembaca mudah mencerna isi cerita. Hal yang menarik lainnya adalah tentang kronologis cerita yang penuh misteri, mendebarkan saat konflik muncul secara tiba-tiba, plus dengan dialog tokoh yang tidak monoton sehingga membuat pembaca seolah-olah hanyut dalam suasana tragis dan mencekam saat masa diberlakukannya darurat militer di Aceh.

Ada sedikit ketidaknyamanan di sini, yakni pada penggambaran sudut pandang yang tak teratur. Misalnya, penulis memaparkan lebih dulu kronologis bebasnya tokoh Tengku Don dari penyiksaan, padahal biarkan saja pembaca terbawa oleh perasaan Dhira yang mengkawatirkan keselamatan lelaki idamannya.

Percikan Darah di Bunga, perpaduan nuansa cinta tanpa romantisme dengan warna konflik Aceh. Sebuah kisah penuh fantastis, betapa tidak, di satu pihak menceritakan tentang kehidupan yang penuh penderitaan, bayang-bayang teror, penyiksaan dan kebutuhan ekonomis yang menghimpit membuat orang lebih mementingkan nasibnya daripada masalah cinta. Sementara di pihak lain, kehidupan tokoh lain justru sedang di bakar gelora asmara yang dahsyat.

Judul novel tersebut diambil dari akhir kisah yang tragis, yang tetap menjadi misteri dalam setiap rangkaian cerita. Padahal penulis telah memberikan gambaran berupa dunia kedamaian para gadis dalam nuansa bunga, tapi kita tetap akan kesulitan menemukan hubungan antara kronologis cerita dengan topik yang diangkat di awal cerita.

Tak ada aroma politik dalam novel ini. Kedua pihak yang bertikai sama-sama berkesan negatif. Mereka digambarkan seperti penjahat, orang yang haus kekuasaan, otak pemerasan dan penganiayaan, pelaku teror yang telah menciptakan ketidaknyamanan dalam kehidupan masyarakat.

Arafat Nur, sang penulis dilahirkan di Lubuk Pakam, Medan. Usia enam tahun ia pindah menetap di Aceh hingga ia merasakan dampak kemelut yang membakar Tanah Rencong yang membuat penulis akrab dengan suasana dan orang-orang yang terlibat dalam pergolakan. Oleh sebab itu, ia begitu lihai merancang ide dari realita yang terjadi kemudian mengolahnya menjadi fiktif cerita, tak heran bila hampir seluruh isi cerita ini menjiwai sisi kehidupan penulis.

Novel ini adalah peraih juara III Sayembara Novel yang diselenggarakan FLP (Forum Lingkar Pena) tahun 2005. Sekilas buku ini layak di miliki dan di baca oleh siapa saja khususnya kalangan remaja karena umumnya karya asuhan FLP berusaha membangkitkan minat baca dikalangan remaja. Novel ini juga layak anda koleksi karena sarat hikmah di dalamnya, diantaranya adalah perjuangan persamaan hak kemanusiaan dan keperdulian untuk melindungi martabat perempuan yang tak hanya dikesampingkan di tengah perseturuan politik tapi juga di libas oleh roda ankara murka untuk mencapai kepentingan sepihak.

Secara tidak langsung, novel ini juga telah mengajak kita untuk merenung tentang pencarian hakikat cinta. Betapa rumit menemukan hakikat cinta yang sebenarnya di tengah zaman yang serba sulit. Perbedaan norma kehidupan membuat orang menafsirkan cinta menurut caranya sendiri. Pelaku konfontrasi sudah tentu cinta pada pengabdiannya walaupun harus menindas hak-hak kemanusiaan tanpa perasaan cinta. Sedangkan nafsu keduniawian hanyalah cinta semu yang membuat orang terus tersiksa karena selalu dipermainkan oleh perasaannya. Lalu dimana letak cinta yang hakiki itu?

Belati di Mata Saman

Cerpen

Belati di Mata Saman

Tubuhnya seperti terkunci seiring dengan desir darahku setiap kali kami beradu pandang. Tatapan Saman memang kosong tapi kurasakan ada kekuatan yang mengalir dalam sepasang bola matanya. Begitu tajam, bahkan menancap jauh sampai ke ulu hatiku hingga menguapkan kembali resah yang kupendam bertahun-tahun lamanya. Saman selalu menatapku lama di mana dan kapan pun kami bersua. Tak perduli di tengah keramaian sekalipun ia selalu bertingkah demikian, menghadirkan kesan aneh orang-orang di sekeliling hingga mereka akan berbisik tanya sesamanya; Ada apa antara ia dengan Saman!

Tatapan paling mengerikan Saman pernah kualami beberapa kali saat aku pulang dari meunasah lepas Isya. Tepat di tikungan sunyi, diantara rerimbunan rumbia Saman mematung dan menatapku lama tanpa berkedip seraya telunjuknya mengancung kearahku, membuat bulu kulitku meregang diantara peluh yang melumuri sekujur tubuh. Aku terengah hampir tak bisa bernafas ketika tiba di rumah. Tingkah Saman malam itu juga telah membuat hari-hari yang kulalui tak lagi bergairah, makanan yang kusantap terasa tawar, aku tak bisa lagi beristihat dengan tenang, dan juga aku selalu lesu saat berkutat dengan komputer di kantor karena semalam suntuk aku mendongkrak pejam akan bayangan Saman.

Apalagi trauma itu belum terpupus; tentang bayangan orang-orang bersenjata yang juga meruap di tikungan sunyi itu beberapa tahun silam, ketika sepuluh tangan mencengkram pergelangan tangan dan kaki hingga aku meronta dalam pekat buta tatkala malam mengerubungi kepalaku saat itu. Lalu mereka menyeret tubuhku entah kemana dan kemudian berhenti di suatu tempat, bisa kutebak tempat itu berupa lautan semak karena kulitku gatal menyentuh ilalang. Lalu kurasakan ada bara seukuran jarum yang menancap-nancap sekujur badanku. Aaaah! Perih, perih sekali! Tak berapa lama kemudian mereka membuka penutup kepalaku. Barangkali mereka sudah letih.

Kembali kulihat cahaya walau hanya sepudar lampu senter. Hening, tak ada yang menceracau sesama mereka atau pun mereka sekedar menanyakan sesuatu padaku. Seseorang diantara mereka hanya menyodorkan sepucuk kertas untukku yang dipacak di bawah temaram lampu senter. Bisa kubaca walau agak redup; isinya sangat singkat, sesingkat pilihan yang kuberikan dan tak perlu berpikir seribu kali. Tapi walaupun begitu kertas itu bukanlah pilihan soal ujian, kertas itu berisi pilihan yang menentukan garis hidup mati. Tunduk di bawah kami atau kau mati! Begitulah pesan yang tertera dalam surat.

Entah kenapa! Sepertinya Samanlah yang selalu menghembuskan ngiang itu melalui tatapannya.

Pernah terpecik suatu niat membunuh Saman agar ia raib selamanya dari memoriku atau juga kuanggap ia tak pernah ada, tak pernah terlahir ke dunia dari rahim Mak Beuransah. Semula aku berencana mengakhiri drama Saman dengan menggunakan belati yang akan kutikam perlahan-lahan dari belakangnya seraya mengendap-endap. Tapi kupikir tak-tik itu terlalu berbahaya bagi diriku sendiri. Polisi pun akan begitu mudah menemukan tanda-tanda lalu menyimpulkan penjegalnya.

Lalu jika Mak Beuransah mengetahui aku lah sang pembunuh Saman, perselisihan mungkin bukan lagi antara aku dengan Saman tapi menggelumbung menjadi perseturuan antara keluargaku dengan Saman. Lalu aku lah biang yang dituduh mengoyak peta silsilah yang telah dibangun amat harmonis oleh tetua-tetua kami. Kasus pun tak hanya tentang kematian Saman tapi bisa juga merambat ke jalur lain, meretas aral kesumat yang berlarut-larut tentang laga dua pihak.

Lalu bagaimana jika kusewa saja penjegal bayaran! Suatu ide yang tepat dan tak pernah terpikirkan sebelumnya, agar strateginya profesional, bisa memupus jejak sekejap setelah racun itu meletup. Semudah penjegal menghapus asap tembakan dari moncong senapannya. Lalu aib itu akan aman terkubur selamanya. Ya, jika ada penjegal murah yang bisa kubayar cicilan dari honor kantorku yang pas-pasan. Kata kawanku, gaji penjegal terlatih itu melebihi gaji anggota dewan. Minimal kira-kira lima juta. Itu masih uang muka. Belum lagi ongkos merancang tak-tik, resiko yang ditanggung dan harga jenis peluru yang digunakan.

Ya, mau apalagi. Kuurungkan saja niatku membunuh Saman. Biarkan saja malaikat maut yang menghentikan desah angin dalam tubuh Saman jika sudah tiba waktunya. Aku hanya berusaha untuk menghindar bersua dengannya. Jika ia berjalan di lorong A maka aku akan pulang melalui lorong B walau agak jauh. Bila ia berada di sebuah warung maka aku akan mencari warung terdekat lain.

”Dulu hubunganku dengan Saman biasa-biasa saja. Tak pernah ia menatapku dan berperilaku kekanak-kanakan seperti ini. Ia selalu bersikap santun saat berhadapan denganku” begitu keluhku suatu ketika pada Mak Beuransah.

”Tingkah ureueng pungo seperti itu dipikirkan. Dia kan lagi stress hebat sejak kematian adiknya” Mak Beuransah tersenyum geli karena aku selalu menghindar takut dari Saman.

”Aku tidak takut pada Saman, hanya aku malu jika berpapasan dengannya dalam keadaan seperti itu” kulihat ada raut tak sedap di wajah Mak Beuransah saat mendengar kesahku yang sudah terlanjur ”Tapi walaupun begitu aku kagum padanya. Coba kalau Saman dapat menyelesaikan kuliahnya, tentu ia bisa merawat dan menghibur Mak! Kulihat sampai sekarang Mak juga tak bisa melupakan kematian Banta, bungsu Mak”

Kajeut! Jangan pikirkan lagi hal itu, aku hanya bisa berdoa semoga Allah memberekati rezeki pada supaya kita dapat menolong Saman ”

Aku mengamini dengan basa-basi. Sekedar pelipur iba Mak Beuransah. Mungkin, beliau menginginkan aku supaya lebih perhatian lagi pada Saman sepupu satu-satunya kini sejak Banta meninggal—selisih tiga tahun lebih tua aku darinya. Padahal kurang apa lagi yang kuberikan padanya bahkan Saman sudah kuperlakukan sebagai adik kandungku sendiri—walau yang kulakukan hanya terlihat manis dan kupendam kebencianku padanya di depan Mak Beuransah. Tiap awal bulan aku selalu menitipkan sedikit uang padanya melalui Mak Beuransah. Bahkan ketika lebaran tiba, aku juga memberikannya pakaian baru.

Namun, untuk menolongnya hingga Saman bisa sempurna seperti sedia kala, barangkali aku perlu berpikir seribu kali. Bukankah hal itu akan menjadi petaka yang menghantam diriku sendiri ketimbang harapan Mak Beuransah yang beliau tindihkan di pundakku tentang kesempurnaan seorang Saman. Karena Saman adalah segala-galanya bagi Mak Beuransah, tulang punggung keluarga satu-satunya, tempat mengadu kesah, tumpuan masa depan, orang yang bisa diandalkan untuk merawat beliau saat tua kelak.

Semula, impian itu tak perlu diragukan karena Saman begitu giat untuk menyelesaikan kuliahnya. Padahal dulu aku mengagumi Saman, apalagi Saman seorang bintang kampus, memiliki prestasi kuliah dan juga sudah beberapa kali memenangi beberapa lomba. ia juga seorang pemuda yang baik dan pandai bergaul. Berbeda dengan kebanyakan pemuda kampung yang ugal-ugalan, tapi tidak dengan Saman, semuda itu ia sudah dihormati masyarakat. Ia selalu diundang dalam setiap kegiatan dan rapat desa. Entah karena Saman satu-satunya mahasiswa di kampung ini dulu, atau mungkin berkat didikan Abu Chik, ayah Saman yang terkenal disiplin. Pernah suatu ketika ia menegur Saman dengan keras dan menahan motor Saman, karena kesalahan kecil; IP nya sedikit anjlok.

Namun tingkahnya berubah liar sejak Abu Chik tiada, kabarnya Abu Chik Saman diculik oleh orang tak dikenal. Ia semakin jarang berada di rumah. Aku kian khawatir ketika orang-orang kampung mulai menyebutnya sebagai manusia belati. Karena ia selalu menyelipkan belati kemana pun dia pergi. Belati itu bukan digunakan untuk menakut-nakuti orang. Tapi buat menjaga diri dari ancaman tentera, karena Saman lebih berbahaya dari seribu prajurit tangguh! begitu ceracau beberapa tetangga.

Entah apa yang ia lakukan ketika tak berada di rumah.”Saman, orang-orang bersenjata tadi mengincar kampung ini untuk menangkapmu, aku ingin kamu berhenti merencanakan demontrasi dan berada di LSM” Begitulah aku menegurrnya pada suatu malam saat ia pulang.

”Siapa yang bilang seperti itu?”Saman masih mencoba berkelit

”Banyak yang bilang!”

Hana peu-peu, yang penting kuliah ku lancar!”

”Lancar apanya, kudengar skripsimu terbengkalai dan banyak mata kuliah yang harus kau ulang!”

Kajeut, abang jangan mengatur sejauh itu! aku sudah dewasa!”

”Aku berhak mengaturmu! Aku lah ayahmu sekarang. Mentang-mentang Abu Chik tiada kau bisa berbuat seenaknya. Aku kasihan pada mak mu yang begitu susah membanting tulang untuk menyekolahkanmu, lalu kau bertingkah yang kian membuat beliau gundah! Keubit aneuk hana adab!” Saman terdiam. Mukanya merah menahan amarah. Dibantingnya pintu kamar untuk menumpahkan kekesalan.

Pertengkaran malam itu telah membuat Saman tak pernah menampakkan rupa lagi di kampung ini. Aku sudah berusaha mencarinya di kampus dan di rumah kerabat. Namun aku kembali memikul kecewa saat berhadapan dengan Mak Beuransah. Yah, harus berbuat apalagi walau mata Mak Beuransah sembab saban malam. Saman raib seperti ditelan bumi. Bahkan orang kampung juga telah lama melupakan seorang Saman sebagai manusia belati.

Aku terus menyelusuri jejaknya.

***

Tiba di simpang kota saat mentari begitu panas menyengat, sepanas suasana yang menggelora siang itu. Kota kawasan bisnis yang biasanya ramai oleh kegiatan jual beli berubah menjadi kerumunan di beberapa titik. Aktifitas lumpuh; toko-toko, sekolah dan kantor tutup. Beberapa labi-labi yang tersisa kulihat berebutan penumpangnya. Penumpang dari orang-otrang yang tak ingin terlibat dengan kegaduhan itu. Di emperan toko, segelintir anak-anak sekolah juga membentuk kerumunan kecil. Banta ada diantara kerumunan itu. Aku menyuruh seorang penjual buah untuk mengusir anak-anak karena terlalu bahaya jika mereka ada di sana. Padahal hanya tak ingin melihat Banta seorang ada di sana tapi aku tak bisa membujuknya pulang dalam keadaan diri seperti ini.

Suasana kian mencekam, ketika kulihat beberapa gerombolan mulai menggulingkan beberapa drum bekas ke jalan, juga meja dan beberapa kursi panjang juga diletakkan di jalan sebagai garis perintang untuk memprovoasi barikade yang di susun orang-orang berseragam loreng. Segelintir orang-orang berseragam loreng yang tadi hanya lalu lalang di dekat tangsi militer kini mulai merapatkan barisannya seiring bantuan pasukan yang baru saja tiba dengan beberapa truk Barangkali akan meletup laga paling besar diantara kerusuhan yang pernah terjadi sejak status DOM di cabut di daerah ini.

Radius 20 meter dari barikade kawat berduri dengan moncong-moncong senapan yang terpacak di atas drum-drum bekas, tampak si gondrong berperawakan gagah berbalut almamater dengan pengeras suara di tangannya memimpin koor perlawanan di barisan depan kerumunan riuh. Lelaki yang begitu lama lenyap dari kampung dan tiba-tiba muncul kembali di tempat ini. Saman, si pembangkang muda yang pernah membuatku bangga padanya.

Pergi kalian bebedah dari tanah kami! Penjajah! Telah banyak darah kau tumpahkan di tanah ini! Seribu makian dilemparkan Saman, sementara massa hanya mengiyakannya dengan sepatah dua kata : betul-betul! Setuju-setuju! Terkesan keberanian membara dalam dada mereka, tumbuh seketika saat genderang pelawanan berkoar, seolah memudarkan ketakutan akan ancaman yang mengintai.

Orang-orang itu sudah keterlaluan! Yang mana otaknya biar kita tembak! Aku tak tahu! Itu mungkin yang memegang pengeras suara! Jangan gegabah bisa merusak rencana nanti! Begitulah komunikasi yang kudengar dari barisan bersenjata berjalan apa adanya juga dengan posisi ala kadarnya. Raut wajah mereka terlihat angker, kuyakin itu sebuah keberanian yang dipaksakan. Padahal jauh dalam lubuk mereka menyimpan perasaan serupa dengan orang-orang di seberang. Ketakutan yang amat sangat tentang kematian, tentang istri, ibu atau anak yang tak akan pernah mereka lihat lagi mungkin usai perjumpaan terakhir. Begitulah mungkin yang terbayang pada detik-detik menegangkan saat mereka sudah bersiaga dengan senjata terkokang.

Kulihat orang-orang di seberang tak hanya memuntahkan bara hujatan, tapi juga bertambah dengan hujan lemparan; plastik-plastik bekas dan batu-batuan melayang menerjang barikade. Tahan! Tahan jangan terpancing! Begitulah aba-aba sang komandan, layak dikomandokan memang, agar pasukan tidak gegabah atau beraksi sendiri-sendiri karena bisa merusak rencana semula. Mengingat para anggota itu juga sudah terbakar amarahnya di bawah terik.

Walau begitu tetap saja ada yang tidak sabar diantara barisan pasukan. Buktinya butiran maut yang nyaris tak bersuara itu muntah nyasar, entah dari senapan siapa! Kupertajam mata dan telinga ke arah suara yang tersayat. Di emperan toko, segelintir bocah yang sedari tadi cengingisan menonton, layaknya ini adegan film. Ah, bocah tanpa dosa! tahu apa mereka! Aku keluar dari barikade dan berteriak histeris, juga Saman, berebutan merangkul Banta yang menggelepar menahan perih, wajahnya pasi, bibirnya juga kian membiru.

”Cepat! Cepat tolong jangan diam saja”teriak Saman. Namun tak ada yang perduli. Orang-orang hanya berlari kocar-kacir tak tentu arah. Kubuka bajuku untuk menahan darah segar yang terus banyak bermucratan dari perut Banta. Sepertinya peluru itu telah mendarat lebih jauh kelambungya. Kupikir Banta butuh penanganan yang lebih serius

”Cepat! Panggil ambulan” tak ada yang menggubris teriakanku. Wajar saja, karena beberapa orang juga menggelepar di beberapa sudut tak ada juga yang menolong, orang-orang sibuk memikirkan nyawa sendiri. Orang-orang bersenjata mengamuk dengan menyerang kerumunan. Mereka tak dapat mengendalikan diri, mereka kian gegabah dan tak memikirkan lagi nyawa orang lain.

Ambulance memang tak bakal datang dalam keadaan seperti ini. Aku putus asa, tak tahu harus berbuat apalagi selain menatap Banta yang kian meringis, hingga ia tak lagi berkutik. Banta! Banta bangun! Aku berusaha memanggilnya, mungkin secuil harapan masih tersisa. Tapi tubuhnya telah terlanjur kaku usai meregang, sekarang ia tergelatak tak berdaya. Tangis Saman pun tumpah ruah, sementara aku hanya bersimpuh pilu seraya tanpa sengaja kubuka topeng yang sedari tadi membuat kepalaku gerah.

Saman berhenti meratap, ia kemudian menatapku lama seakan tak percaya

”Aku tak mengerti mengapa abang dulu menghalangiku. Rupanya ini rahasianya, lalu usai membunuh Banta abang juga akan menikamku?” Saman melotot. Mukanya geram.

”Saman, jangan lancang kamu!”

Ke peu abang berbuat seperti ini, untuk sesuap makan!”

Jaga haba! Kau pikir hanya aku yang memegang senapan ini. Lagi pula aku tak bisa menggunakannya”

Bek seumengeut! Seberapa bangganya abang memakai seragam ini sementara begitu banyak orang-orang kita menyimpan dendam terhadap orang-orang berseragam, karena bertahun-tahun mereka menindas orang-orang kita. Pikirkan itu”

”Saman! Aku tak bangga memakai seragam ini jika malam itu mereka tidak memintaku untuk ikut mereka! Mereka mengancam jika menolak mereka akan membunuhku. Aku terpaksa Man! Aku terpaksa”

”Tapi diam-diam dalam hati abang senang seperti ini kan! Kulihat dulu abang begitu beringas melihatku ikut demonstrasi dan berada di LSM kan” Saman betul-betul sudah keterlaluan.
”Saman! Kureueng aja droen!”

”Apa-apaan ini! jangan! Jangan! Jangaaaan.........!”

Praakk! Byur! Byuuuuur!

***

Seperti kecemasan yang kian membuncah saat derap telapak ini kian mendekati lampoh jeurat hingga aroma duka begitu kental terasa dalam hening rerimbunan kemboja di pusara Banta, bocah kecil yang berlepokan darah sepuluh tahun silam. Kematian yang telah lama usang. Tapi tidak bagi Mak Beuransah, isaknya mengalir deras usai menderas Yasin. Barangkali ia tak sanggup membayangkan tubuh Banta yang meregang saat dijemput sakral. Suatu rasa yang tak pernah tergurat di keriput wajah yang terlanjur menodai sisa-sisa usia muda Saman. Saman sedari tadi hanya menganggukkan kepala, entah rasa apa yang sekarang saat bersimpuh di makam adiknya. Mulutnya tak karuan riuh saat melihat ku dari jauh., tetap saja suaranya tak mampu menghadirkan makna pada keadaan sekeliling. Orang-orang di lampoh jeurat itu sibuk dengan ritualnya masing-masing. Hanya sebagian perempuan dan anak-anak cengigisan saja saat melihat tingkah Saman.

Tapi saat aku tiba di pekuburan renta, tak biasanya Saman mempelototiku segeram itu, lebih menakutkan dari tatapannya di tikungan sunyi. Barangkali jiwa berontak masih tersisa di balik ketidakberdayaannya. Gelagapan lidahnya seolah ingin mengatakan sesuatu padaku. Tiba-tiba Mak Beuransah bangkit seraya menyeka sisa-sisa tangis, tangan Mak Beuransah mencoba meraih tubuh Saman” Jangan Saman! Jangan!

Pakeuen? Saman kumat lagi! Tak seperti biasanya ia mengamuk seperti ini, ayo kejar-kejar sebelum jatuh korban! Lampoh jeurat menjadi gaduh. Beberapa orang yang sedang tahlilan juga ikut-ikutan menghalau Saman. Seorang pemuda yang berbadan kekal telah hampir mencekal tangan Saman, namun nyali nya menciut ketika benda ditangan Saman nyaris mendarat di kepalanya jika ia tak berkelit. Orang-orang disekeliling Saman juga mendesah kecut, tak ada satu pun diantara mereka yang berani menyentuh Saman. Mereka hanya mematung. Saman betul-betul mengamuk.

Dari rerimbun semak kusaksikan adegan itu. Jantungku berdetak kencang. Begitu miris! Mengerikan sekali. Lama aku mendekam disini hingga kakiku kesemutan. Kucoba juga berdiri walau terasa berat langkah ini. Tapi oaaalah! Sepasang mata itu telah menanti.

Saman, Lupakan tragedi di simpang kota, lupakan selamanya dari ingatanmu!

Saman menatapku tanpa berkedip

Saman, aku tak bangga melihat jiwamu tertekan, Aku tak bangga ketika senapan yang tak mahir kugunakan itu hinggap di ubun-ubun kepalamu saat kita sama-sama merangkul jasad Banta di simpang kota

Kulihat dalam sepasang bola matanya ada belati yang begitu tajam, begitu tajam menusuk jiwaku.

Saman! pilihan itu semestinya tak perlu kulakukan, tapi aku terpaksa. Takut akan nasib buruk yang menimpaku, takut aku yang menjadi aib paling busuk sepanjang silsilah kita jika hal itu tak kulakukan.

Saman mendekapku, hingga kurasa perih dibagian perut. Bintik-bintik merah menodai ilalang pagi. Kunang-kunang seperti menari-nari di atas kepalaku. Sebelum mataku terkatup masih sempat kudengar suara yang kian memudar;

”Dia di pihak pembunuh Banta! dia mata-mata!”

”Kau betul-betul sakit Saman! kau layak dipasung!”

Banda Aceh, 22 Juni 2009

Keterangan :

meunasah : surau

ureueng pungoe : orang gila

kubit aneuek hana adab : betul-betul anak tidak beradab

hana peu-peu : tidak apa-apa

kajeut : sudah

labi-labi : bis mini/angkutan umum

keupeu : untuk apa

jaga hab a : jaga ucapan

bek seumengeut : jangan berbohong

keureung aja : kurang ajar

lampoh jeurat : tanah pekuburan

(Hendra Kasmi, Belati