Jumat, 16 Juli 2010

Ie Rheut, Detak Alam yang Terabaikan

Oleh : Hendra Kasmi
(Juara Favorit Lomba Menulis Gampong Impact Mercy-Corps)

Jalanan berpayung rerimbunan itu seperti terowongan bawah tanah yang sempit, bedanya tempat ini tidak datar tapi menukik perlahan. Jangan harap akan berjumpa selalu dengan aspal mulus. Sesekali akan terbentur dengan kerikil yang berserak akibat longsor bebukitan kapur. Kian mendekati pancuran jalan agak menukik tajam. Melelahkan memang!

Tatkala sore menjelang, barulah alunan gemuruh itu sayup-sayup terdengar. Hawa dingin merasuki tulang sum-sum. Semua kawanku yang berjalan kaki menggigil kedinginan walau mereka sudah terlindung jaket tebal. Suhu di daerah bekas gardu raksasa kolonial ini bisa turun 3 derajat celcius! Maklum Tangse kan daerah pegunungan! Ya, apalagi kalau musim hujan pasti akan bertambah dingin! Apalagi di sekitar kawasan air terjun Ie Rheut! Begitulah keluh beberapa pejalan kaki seraya menyinggung kawasan menarik yang akan kami tuju.

Adalah desa Alue Lhok yang kira-kira terletak di kilometer 25 kota Tangse. Desa dengan kultur budaya yang begitu kental, penduduk dengan pendidikan paling tinggi hanya mampu mengantongi ijazah SMA lalu mengadu separuh hidupnya di ladang dan kebun, apalagi akses teknologi dan komunikasi yang tak terjangkau. Namun, desa yang hanya berpenduduk 25 KK menyimpan keelokan alam yang megah yakni Ie Rheut (air jatuh), orang setempat menjadikannya sebagai tempat rekreasi air terjun yang sangat dibanggakan.

Hampir di puncak mata air yang mengairi Krueng Tangse, tampak ukiran dinding bebatuan berlumur aliran bening. Dari atas bebatuan yang beratapkan rerimbunan pinus dan ilalang, berhambur deras bening kristal dari mata air alami. Orang setempat menitahkan pancuran unik di lubuk Tangse ini dengan sebutan Ie Rheut. Pancuran mini ini tak kalah indahnya dengan objek wisata pegunungan di Aceh seperti Mata Ie, Pancuran Lhong, kawasan air panas Takengon dan lain-lain. Mungkin hanya saja posisi geografis tempat jauh dipedalaman sehingga agak terkucil dari ranah publik.

Menurut pengamat pariwisata Aceh, Ie Rheut tidak layak di sebut air tejun sebagai objek wisata karena ukurannya terlalu kecil dan letaknya jauh terkucil di pinggir belantara. Hal tersebut di sanggah para pemuka kampung Alue Lhok—yang tidak bersedia di sebut namanya. Menurut beliau, Ie Rheut terkucil karena tak ada kepedulian dari Pemda setempat. Solusinya Pemda mesti membangun fasilitas yang memagari kawasan air pancuran itu agar selain bisa menarik wisatawan, juga agar limpahan air jatuh tidak menganggu jalan yang dibangun sejak zaman kolonial itu. Miris memang, ketika tempat menarik seperti itu juga memiliki sisi negatif, contohnya terlihat beberapa mobil kewalahan dan waspada saat menggilas jalan licin. Dampak lainnya juga curam yang tajam di depan jalan sekitar pancuran sehingga dapat mengancam keselamatan pengunjung ”Pemerintah seharusnya memagari curam yang berbahaya itu”Tambah bapak yang tak bersedia di sebut namanya tadi.

Namun uniknya, objek ini tetap menarik perhatian pendatang karena terletak di pinggir Jalan Provinsi Geumpang-Tutut. Apalagi desa Alue Lhok merupakan kawasan sentral transportasi lintas barat timur. Sehingga tempat ini sangat cocok bagi angkutan untuk tack a rest. Banyak penumpang yang turun sekedar mencuci muka, shalat, ngemil, bahkan ada penumpang berpose di batu yang berlatar pancuran Ie Rheut. Lalu lintas yang ramai sejak tsunami yang menerjang Aceh itu bisa menambah pendapatan penduduk setempat. Jamboe-jamboe mini berjejal. Aneka makanan dan minuman khas setempat terhidang rapi di meja seperti jagung bakar, durian pungut, timphan, air tebu dan lain-lain.
Pancuran sunyi yang mendadak megah itu, juga beranjak sebuah heroisme dari tutur tetua setempat. Tersebutlah Tu Lah, eks veteran Heiho. kulit legam yang membungkus tulang-belulang renta tak mematahkan semangatnya untuk bertarung hidup dalam lautan meugoe. Di rangkang papan ladangnya beliau melayani kami dengan ramah. Lekuk keriput wajahnya masam ketika dengan terbata-bata beliau menguak kembali lembaran pahit pada kami.

Konon, sepanjang perjalanan sejarah perjuangan kemerdekaan yang mendera Tanoh Rencong. Alue Lhok menjadi pos induk gerilya. Tak perlu heran jika figur perlawanan nasional sekaliber Cut Nyak Dhien dan T.Chik di Tiro pernah bergulat dalam kritis medan di jantung belantara Tuhan ini. Apalagi Alue Lhok (di masa penjajahan masih berupa hutan lebat dan belum ada penduduk) merupakan kawasan puncak yang sulit di jangkau serdardu kolonial. Di empat titik arah mata angin terpacak menara pengintai yang terselubung dalam rerimbunan jati dan pinus untuk memantau pergerakan Belanda dari Tangsi. Dengan begitu pejuang bisa dengan aman menyusun tak-tik perang di kawasan pos induk kaphee Belanda terbesar di Aceh ini.

”Kakeueh keupue ta ingat! Geutanyoe meubut bukoen ntuk dipujoe (Sudahlah untuk apa dikenang! Bukankah kita berbuat bukan untuk dipuji) begitulah desah pasrah Tu Lah ketika kami meminta beliau dan penduduk desa mengajukan usul ke Pemda agar Ie Rheut dijadikan momen sejarah.

Begitulah kesederhanaan juga tertanam dalam wajah-wajah yang menatap lugu guyuran air gunung dan lalu lalang kendaraan yang tampak dari tempat kami berada. Mungkin di pundak anak negeri itulah, masih tesisa secuil kepedulian kelak pada alam mereka, yang suatu saat dapat mereka gali kemegahan yang terpendam di jantung belantara. Akankah harapan itu terwujud ketika detak alam kawasan itu kian memprihatinkan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar